1.
Teori Belajar Kognitif Menurut Ausubel
Belajar adalah proses
perubahan tingkah laku yang berupa pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
Perubahan ini bersifat menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu
hasil latihan atau pengalaman. Proses belajar bersifat individual dan
kontekstual, artinya proses belajar terjadi dalam diri individu sesuai dengan
perkembangannya dan lingkungannya. Pembelajaran adalah sesuatu yang dilakukan
oleh siswa, bukan dibuat oleh siswa. Pembelajaran pada hakekatnya adalah suatu
proses interaksi antara anak dengan lingkungannnya baik antar anak dengan anak,
anak dengan sumber belajar, maupun anak dengan pendidik. Kegiatan pembelajaran
ini akan menjadi bermakna bagi anak jika dilakukan dalam lingkungan yang nyaman
dan memberikan rasa aman bagi anak. Pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya
pendidik untuk membantu peserta didik dalam melaksanakan kegiatan belajar, demi
mencapai hasil belajar yang memuaskan. Pembelajaran akan mempunyai arti apabila
antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang lama memiliki keterkaitan.
Inilah teori David P. Ausubel, pembelajaran bermakna, seorang ahli psikologi
pendidikan. Pembelajaran bermakna adalah suatu proses pembelajaran dimana
informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki
seseorang yang sedang melalui pembelajaran. Pembelajaran bermakna terjadi
apabila siswa boleh menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan
mereka. Artinya, bahan subjek itu mesti sesuai dengan keterampilan siswa dan
mesti relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Oleh karena itu,
subjek mesti dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah dimiliki para siswa,
sehingga konsep-konsep baru tersebut benar-benar terserap olehnya.
Menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika
“pengatur kemajuan (belajar)” atau advance organizer didefinisikan dan
dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa. Pengatur kemajuan belajar
adalah konsep atau informasi umum yang mewadahi (mencakup) semua isi pelajaran
yang akan diajarkan kepada siswa. David Ausubel merupakan salah satu tokoh ahli
psikologi kognitif yang berpendapat bahwa keberhasilan belajar siswa sangat
ditentukan oleh kebermaknaan bahan ajar yang dipelajari. Ausubel menggunakan
istilah “pengatur lanjut” (advance organizers) dalam penyajian informasi
yang dipelajari peserta didik agar belajar menjadi bermakna. Selanjutnya
dikatakan bahwa “pengatur lanjut” itu terdiri dari bahan verbal di satu pihak,
sebagian lagi merupakan sesuatu yang sudah diketahui peserta didik di pihak
lain. Dengan demikian kunci keberhasilan belajar terletak pada kebermaknaan
bahan ajar yang diterima atau yang dipelajari oleh siswa.
Dalam proses
pembelajaran bermakna ini pun ada tiga faktor yang memiliki pengaruh, yaitu
struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu
bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif
menentukan validitas dan kejelasan arti-arti yang timbul waktu informasi baru
masuk ke dalam struktur kognitif itu, demikian pula sifat proses interaksi yang
terjadi. Jika struktur kognitif itu stabil dan diatur dengan baik, maka
arti-arti yang jelas akan timbul dan cenderung bertahan. Tetapi sebaliknya jika
struktur kognitif itu tidak stabil, meragukan, dan tidak teratur, maka struktur
kognitif itu cenderung menghambat belajar dan retensi.
Menurut
Ausubel tipe belajar ada tiga,
yaitu:
1. Belajar dengan penemuan
yang bermakna yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi
pelajaran yang dipelajari itu. Atau sebaliknya, siswa terlebih dahulu menemukan
pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru tersebut ia
kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada.
2. Belajar dengan penemuan
yang tidak bermakna yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri oleh
siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia
hafalkan.
3. Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna yaitu materi
pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai
bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru ia peroleh itu dikaitkan dengan
pengetahuan lain yang telah dimiliki.
Untuk menerapkan
teori Ausubel dalam mengajar, ada beberapa prinsip-prinsip dan konsep-konsep
yang perlu kita perhatikan, yaitu :
1. Pengatur awal
Pengatur awal mengarahkan para siswa ke materi yang akan
mereka pelajari dan menolong mereka untuk mengingat kembali informasi yang
berhubungan yang dapat digunakan untuk membantu menanamkan pengetahuan baru.
Suatu pengatur awal dapat dianggap sebagai pertolongan mental dan disajikan
sebelum materi baru.
2. Diferensiasi progresif
Selama belajar bermakna berlangsung, perlu terjadi
pengembangan dan elaborasi konsep. Pengembangan konsep berlangsung paling baik,
bila unsur-unsur yang paling umum diperkenalkan terlebih dulu, baru kemudian
hal-hal yang lebih khusus dan detail dari konsep tersebut.
3. Belajar super ordinat
Belajar superordinat terjadi, bila konsep-konsep yang telah
dipelajari sebelumnya dikenal sebagai unsur-unsur dari suatu konsep yang lebih
luas dan lebih inklusif.
4. Penyesuaian integratif
Dalam mengajar, bukan hanya urutan menurut diferensiasi
progresif yang diperhatikan, melainkan juga harus diperlihatkan bagaimana
konsep-konsep baru dihubungkan pada konsep-konsep superordinat. Kita harus
memperlihatkan secara eksplisit bagaimana arti-arti baru dihubungkan dan
dipertentangkan dengan arti-arti sebelumnya yang lebih sempit dan bagaimana
konsep-konsep yang tingkatnya lebih tinggi sekarang mengambil arti baru.
Menurut Ausubel ada
tiga kebaikan dari pembelajaran bermakna, yaitu:
1. Informasi yang
dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat.
2. Informasi yang dipelajari
secara bermakna memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran
yang mirip.
3. Informasi yang
dipelajari secara bermakna mempermudah belajar hal-hal yang mirip walaupun
telah terjadi lupa.
2.
Teori Belajar Kognitif Menurut Piaget
Jean Piaget adalah
seorang ahli biologi dan psikolog yang mempunyai kontribusi besar dalam
pemahaman terhadap perkembangan intelektual anak. Dalam rangka memahami proses
dan tingkat perkembangan intelektual anak ini Piaget telah melakukan observasi
bertahun-tahun sejak tahun 1920-an terhadap perkembangan intelektual yang
terjadi pada anak-anak. Ia mulai melakukan observasi dan interview pada tiga
orang anaknya, kemudian anak-anak lain dan para remaja melalui berbagai
pemberian tugas intelektual, kemudian mencatat jawaban-jawaban yang
diperolehnya. Melalui penelitian yang ekstensif akhirnya secara detail Piaget
dapat menggambarkan teori proses perkembangan intelektual yang terjadi pada
anak mulai dari bayi sampai remaja.
Prinsip-prinsip
teori perkembangan intelektual adalah sebagai berikut :
1. Teori perkembangan
intelektual bertujuan untuk menjelaskan mekanisme proses perkembangan individu
mulai dari masa bayi, anak-anak sampai menjadi individu yang dewasa yang mampu
bernalar dan berpikir menggunakan hipotesis.
2. Perkembangan genetika
dalam organisme tertentu tidak seluruhnya dipengaruhi oleh sifat-sifat
keturunan dan tidak terjadi karena perubahan lingkungan, tetapi sangat
dipengaruhi oleh proses interaksi antara organisme dengan lingkungan.
3. Kecerdasan adalah proses
adaptasi dengan lingkungan dan membentuk struktur kognitif yang diperlukan
dalam mengadakan penyesuaian dengan lingkungan.
4. Hasil perkembangan
intelektual adalah kemampuan berpikir operasi formal.
5. Fungsi perkembangan
intelektual adalah menghasilkan stuktur kognitif yang kuat yang memungkinkan
individu bertindak atas lingkungannya dengan luwes dan dengan berbagai macam
cara.
6. Faktor yang mempengaruhi
perkembangan intelektual adalah lingkungan fisik, kematangan, pengaruh sosial
dan proses pengaturan diri (ekuilibrium).
Menurut Jean
Piaget, bahwa proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yaitu :
a. Asimilasi yaitu proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke
struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa. Contoh, bagi siswa yang
sudah mengetahui prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip
perkalian, maka proses pengintegrasian antara prinsip penjumlahan (yang sudah
ada dalam benak siswa), dengan prinsip perkalian (sebagai informasi baru) itu
yang disebut asimilasi.
b. Akomodasi yaitu penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru.
Contoh, jika siswa diberi soal perkalian, maka berarti pemakaian (aplikasi)
prinsip perkalian tersebut dalam situasi yang baru dan spesifik itu yang
disebut akomodasi.
c. Equilibrasi (penyeimbangan) yaitu penyesuaian berkesinambungan antara
asimilasi dan akomodasi. Contoh, agar siswa tersebut dapat terus berkembang dan
menambah ilmunya, maka yang bersangkutan menjaga stabilitas mental dalam
dirinya yang memerlukan proses penyeimbangan antara “dunia dalam” dan “dunia
luar.
Menurut
Piaget perkembangan kognitif anak dibagi menjadi empat tahap, yaitu Tahap sensori motorik,
praoperasional, operasional konkret, dan opersional formal.
1. Tahap sensori motorik
(0-2 tahun)
Pada tahap ini anak mengatur sensorinya (inderanya) dan
tindakan-tindakannya. Pada awal periode ini anak tidak mempunyai konsepsi
tentang benda-benda secara permanen. Artinya anak belum dapat mengenal dan
menemukan objek, benda apapun yang tidak dilihat, tidak disentuh atau tidak
didengar. Benda-benda tersebut dianggap tidak ada meskipun sesungguhnya
ada di tempat lain.
2. Tahap Praoperasional (2-7
tahun)
Anak sudah dapat memahami objek-objek secara sempurna, sudah
dapat mencari benda yang dibutuhkannya walaupun ia tidak melihatnya. Sudah
memiliki kemampuan berbahasa (dengan kata-kata pendek).
3. Tahap Operasional
Konkret (7-11 tahun)
Anak sudah mulai
melakukan operasi dan berpikir rasional, mampu mengambil keputusan secara logis
yang bersifat konkret, mampu mepertimbangkan dua aspek misalnya bentuk dan
ukuran. Adanya keterampilan klasifikasi-dapat menggolongkan benda-benda ke
dalam perangkat-perangkat dan penalarannya logis dan bersifat tidak abstrak
(tidak membayangkan persamaan aljabar).
4. Tahap Operasional Formal (11-15
tahun)
Remaja tidak lagi terbatas pada pengalaman konkret aktual
sebagai dasar pemikiran. Mereka dapat membangkitkan situasi-situasi khayalan,
kemungkinan-kemungkinan hipotetis, atau dalil-dalil dan penalaran yang
benar-benar abstrak. Tiga sifat pemikiran remaja pada tahap operasional formal:
a. Remaja berfikir lebih abstrak daripada
anak-anak. Para pemikir operasional formal, misalnya dapat memecahkan
persamaan-persamaan aljabar yang abstrak.
b. Remaja sering berfikir tentang yang mungkin.
Mereka berfikir tentang ciri-ciri ideal diri mereka sendiri, orang lain, dan
dunia.
c. Remaja mulai berfikir seperti ilmuwan,
yang menyusun rencana-rancana untuk memecahkan masalah dan menguji pemecahan
masalah secara sistematis. Tipe pemecahan masalah ini diberi nama deduksi
hipotetis.
3.
Teori Belajar Kognitif Menurut Mex Wertheimenr
Psikologi mulai
berkembang dengan lahirnya teori belajar Gestalt. Peletak dasar pisiologi
Gestalt adalah Mex Wertheimenr tahun1880-1943. Teori Gestalt ini
memandang belajar adalah proses yang didasarkan pada pemahaman (insight).
Karena pada dasarnya setiap tingkah laku seseorang selalu didasarkan pada
kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi di mana tingkah laku
tersebut terjadi. Dengan kata lain, teori Gestalt ini menyatakan bahwa yang
paling penting dalam proses belajar individu adalah dimengertinya apa yang
dipelajari oleh tersebut. Oleh karena itu, teori belajar Gestalt ini disebut
teori insight.
Proses belajar yang menggunakan insight mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Suryabrata, 1990) :
Proses belajar yang menggunakan insight mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Suryabrata, 1990) :
d.
Insight tergantung pada kemampuan dasar.
e.
Insight tergantung
kepada pengalaman masa lampau yang relevan.
f.
Insight tergantung
kepada pengaturan situasi yang dihadapi.
g.
Insight didahului
dengan periode mencari dan mecoba-coba.
Solusi
problem dengan menggunakan insight dapat diulangi dengan mudah, dan akan
berlaku secara berlangsung.
4.
Teori Belajar Kognitif Menurut Brunner
Menurut
Brunner, pembelajaran hendaknya dapat menciptakan situasi agar mahasiswa dapat
belajar dari diri sendiri melalui pengalaman dan eksperimen untuk menemukan
pengetahuan dan kemampuan baru yang khas baginya. Dari sudut pandang psikologi
kognitif, bahwa cara yang dipandang efektif untuk meningkatkan kualitas output
pendidikan adalah pengembangan program-program pembelajaran yang dapat
mengoptimalkan keterlibatan mental intelektual pembelajar pada setiap jenjang
belajar. Sebagaimana direkomendasikan Merril, yaitu jenjang yang bergerak dari
tahapan mengingat, dilanjutkan ke menerapkan, sampai pada tahap penemuan
konsep, prosedur atau prinsip baru di bidang disiplin keilmuan atau keahlian
yang sedang dipelajari.
Dalam
teori belajar, Jerome Bruner berpendapat bahwa kegiatan belajar akan berjalan
baik dan kreatif jika siswa dapat menemukan sendiri suatu aturan atau
kesimpulan tertentu. Dalam hal ini Bruner membedakan menjadi tiga tahap. Ketiga
tahap itu adalah:
1. tahap
informasi, yaitu tahap awal untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru,
2. tahap
transformasi, yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan baru
serta mentransformasikan dalam bentuk baru yang mungkin bermanfaat untuk
hal-hal yang lain, dan
3. evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah hasil
tranformasi pada tahap kedua tadi benar atau tidak.
Bruner
mempermasalahkan seberapa banyak informasi itu diperlukan agar dapat
ditransformasikan . Perlu Anda ketahui, tidak hanya itu saja namun juga ada empat
tema pendidikan yaitu:
1. mengemukakan
pentingnya arti struktur pengetahuan,
2. kesiapan
(readiness) siswa untuk belajar,
3. nilai
intuisi dalam proses pendidikan dengan intuisi,
4. motivasi
atau keinginan untuk belajar siswa, dan guru untuk memotivasinya.
Bloom
dan Krathwohl menunjukkan apa yang mungkin dikuasai (dipelajari) oleh siswa,
yang tercakup dalam tiga kawasan yang diantaranya : Kognitif. Kognitif terdiri
dari enam tingkatan, yaitu :
1. Pengetahuan
(mengingat, menghafal),
2. Pemahaman
(menginterpretasikan),
3. Aplikasi
/ penerapan (menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah),
4. Analisis
(menjabarkan suatu konsep),
5. Sintesis
(menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh),
6. Evaluasi
(membandingkan nilai, ide, metode dan sebagainya).
Oleh
karena itu para ahli teori belajar psikologi kognitif berkesimpulan bahwa salah
satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran di kelas
ialah faktor kognitif yang dimiliki oleh peserta didik. Faktor kognitif
merupakan jendela bagi masuknya berbagai pengetahuan yang diperoleh peserta
didik melalui kegiatan belajar mandiri maupun kegiatan belajar secara kelompok.
5.
Teori Belajar Cognitive Field ( Kurt
Lewin )
Teori belajar cognitive field
menitikberatkan perhatian pada kepribadian dan psikologi sosial, karena pada
hakikatnya masing-masing individu berada di dalam suatu medan kekuatan, yang
bersifat psikologis, yang disebut life space. Life space mencakup perwujudan
lingkungan dimana individu bereaksi, misalnya orang yang dijumpai, fungsi kejiwaan
yang dimiliki dan objek material yang dihadapi.
Jadi, tingkah laku merupakan hasil
interaksi antar kekuatan, baik yang berasal dari dalam diri individu, seperti
tujuan, kebutuhan, tekanan kejiwaan, maupun yang berasal dari luar individu,
seperti tantangan dan permasalahan yang dihadapi. Menurut teori ini, belajar
itu berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif.
Perubahan struktur kognitif itu adalah
hasil pertemuan dari dua kekuatan, yaitu yang berasal dari struktur medan
kognitif itu sendiri dan yang lainnya berasal dari kebutuhan dan motivasi
internal individu. Dengan demikian, peranan motivasi jauh lebih penting
daripada reward atau hadiah.
6.
Teori Belajar Benyamin S. Bloom
Benyamin S. Bloom telah mengembangkan
“taksonomi” untuk domain kognitif. Taksonomi adalah metode untuk membuat urutan
pemikiran dari tahap dasar ke arah yang lebih tinggi dari kegiatan mental,
dengan enam tahap sebagai berikut :
a. Pengetahuan ( Knowledge ) ialah
kemapuan untuk menghafal, mengingat atau mengulangi informasi yang pernah
diberikan. Contoh, Sebutkan lima bagian utama kamera 35 mm.
b. Pemahaman ( comprehension ) ialah
kemampuan untuk menginterpretasi atau mengulang informasi dengan menggunakan
bahasa sendiri. Contoh, Uraikan 6 tahapan dalam mengisi film untuk kamera 35
mm.
c. Aplikasi ( Application ) ialah
kemampuan menggunakan informasi, teori, dan aturan pada situasi baru. Contoh,
pilih ekspose 3 kamera untuk pengambilan gambar yang berbeda.
d. Analisis ( Analysis ) ialah kemampuan
mengurai pemikiran yang kompleks, dan mengenai bagian-bagian serta hubungannya.
Contoh, Bandingkan cara kerja dua kamera 35 mm yang memiliki model yang
berbeda.
e. Sintesis ( Synthesis ) ialah kemampuan
mengumpulkan komponen yang sama guna membentuk satu pola pemikiran yang baru.
Contoh, Susunlah urutan fotografi untuk 6 objek.
f. Evaluasi ( evaluation ) ialah kemampuan
membuat pemikiran berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Contoh, buatlah
penilaian terhadap kualitas slide yang dihasilkan dalam lomba, dengan 4 urutan
penilaian.
7.
Teori
belajar menurut Vygotsky
Menurut Vygotsky, perolehan pengetahuan
dan perkembangan kognitif seorang seturut dengan teori sciogenesis. Dimensi
kesadaran social bersifat primer, sedangkan dimensi individualnya bersifat
derivative atau merupakan turunan dan bersifat skunder. Artinya, pengetahuan
dan pengembangan kognitif individu berasal dari sumber-sumber social di luar
dirinya. Hal ini tidak berarti bahwa individu bersikap pasif dalam perkembangan
kognitifnya, tetapi Vygotsky juga menekankan pentingnya peran aktif seseorang
dalam mengkonstruksi pengetahuannya. Maka teori Vygotsky sebenarnya lebih tepat
disebut dengan pendekatan konstruktivisme.
Teori Vygotsky merupakan teori yang
lebih mengacu pada kontruktivisme. Karena ia lebih menekan pada hakikat
pembelajaran sosiokultural. Konsep teori perkembangan kognitif vygotsky
terdapat pada tiga hal:
a) hukum genetic tentang perkembangan (genetic law of
development)
b) zona perkembangan proksimal (zone of proximal
development)
c) mediasi
Vygotsky mengemukakan tiga kategori
pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu:
(1) Siswa mencapai keberhasilan dengan baik,
(2) Siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan,
(3) Siswa gagal meraih keberhasilan.
8.
Teori Belajar John Dewey
John Dewey mengemukakan bahwa belajar tergantung pada
pengalaman dan minat siswa sendiri dan topik dalam kurikulum seharusnya saling
terintegrasi bukan terpisah atau tidak mempunyai kaitan satu sama lain.
Penjelasan :
John Dewey mengemukakan bahwa belajar
tergantung pada pengalaman dan minat siswa sendiri dan topik dalam kurikulum
seharusnya saling terintegrasi bukan terpisah atau tidak mempunyai kaitan satu
sama lain (Sugihartono dkk, 2007:108). Apabila belajar siswa tergantung pada
pengalaman dan minat siswa maka suasana belajar siswa akan menjadi lebih
menyenangkan dan hal ini akan mendorong siswa untuk berfikir proaktif dan mampu
mencari pemecahan masalah, di samping itu kurikulum yang diajarkan harus saling
terintegrasi agar pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan memiliki hasil
maksimal.
John Dewey dalam bukunya Democracy and
Education (1950: 89-90, dalam Dwi Siswoyo dkk, 2011), pendidikan adalah
rekonstruksi atau reorganisasi pengalaman yang menambah makna pengalaman, dan
yang menambah kemampuan untuk mengarahkan pengalaman selanjutnya. Seperti telah
diuraikan di muka bahwa dalam teori konstruktivisme disebutkan bahwa
permasalahan muncul dibangun dari rekonstruksi yang dilakukan oleh siswa
sendiri, hal ini dapat dikatakan bahwa dalam pendidikan ada keterkaitan antara
siswa dengan permasalahan yang dihadapi dan siswa tersebut yang merekonstruksi
lewat pengetahuan yang dimiliki. Selain itu dari teori kognitif yang menegaskan
pengalaman sebagai landasan pembelajaran juga sangat relevan.
John Dewey tidak hanya mengembangkan
teori konstruktivistik yang terangkum dalam teori kognitif tetapi juga
mengembangkan teori perkembangan moral peserta didik. John Dewey membagi
perkembangan moral anak menjadi tiga tahapan, yaitu tahap premoral atau
preconventional, tahap conventional, dan tahap autonomous (Dwi Siswoyo dkk,
2011). Selanjutnya John Dewey (Dwi Siswoyo dkk, 2011) menjelaskan beberapa
tahapan yang dikemukakan, yaitu:
a.
Tahap premoral.
Tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial.
b.
Tahap convention.
Seseorang mulai bisa menerima nilai dengan sedikit kritis berdasarkan kepada
kriteria kelompoknya.
c.
Tahap autonomous.
Seseorang sudah mulai bisa berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal
pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria
kelompoknya.
9.
Teori
Belajar Kognitif Menurut Kohler
Teori yang disampaikan oleh Kohler berdasarkan pada penelitiannya pada
seekor monyetnya dipulau Cannary yang dikembangkan dari teori Gestalt. Kohler
menyatakan bahwa belajar adalah serta mencapainya, hasil adalah proses yang
didasarkan ada insight.